gBM1WdTaBcBdGGfGh1zXee4sBxQ Cry | Deden's Arpega

Cry

cryJalanan pelosok di sekitar kota Tokyo mulai terlihat sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Seorang gadis Jepang berjalan pelan menyusuri jalanan pelosok tersebut untuk pulang. Ia baru saja kembali dari cafe tempatnya bekerja sampingan. Matanya mulai terlihat sayu, ia tampak lelah.
Ia tidak sendirian berjalan saat itu. Ada seorang laki-laki paruh baya yang berjalan beberapa cm di depannya dan terlihat seperti baru pulang dari tempat kerja. Laki-laki itu berjalan tergesa-gesa dengan sesekali mengamati jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Dan tangan kanannya menjinjing tas kerjanya.
Laki-laki tersebut berhenti di pertigaan jalan kemudian menyebrang tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba saja melaju cepat sebuah mobil hyundai dari arah kiri yang menabrak hebat laki-laki itu. Gadis bernama Chinatsu Kanesaka itu kaget dibuatnya. Hanya ia satu-satunya orang yang menyaksikan peristiwa ini, karena tidak ada orang lain yang melintas saat itu. Ia melihat laki-laki paruh baya tersebut tergeletak dengan kepala dan tangan yang bersimbah darah. Nyaris saja mobil tersebut melindas tangan kirinya.

Chinatsu hanya terdiam di tempat. Ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Pemilik mobil kemudian turun dan segera melihat keadaan korbannya. Kali ini Chinatsu dibuat kaget untuk yang kedua kalinya.
“Mitsuharu?” gumamnya pelan.
Mitsuharu adalah teman satu sekolahnya. Dia cukup terkenal di kalangan guru-guru karena kepandainnya. Namun malam ini dia tidak terlihat pandai. Wajahnya panik dan kebingungan. Ia bergerak cepat menolong korbannya dan memasukkannya ke dalam mobil. Dengan tergesa-gesa ia melajukan mobilnya cepat meninggalkan tempat kejadian dan entah pergi kemana dengan korban kecelakaan tersebut.
Chinatsu tetap terdiam di tempat sambil memperhatikan mobil Mitsuharu yang melaju kencang dan kemudian menghilang di persimpangan jalan besar. Ia menarik nafas panjang. Ini memang bukan pertama kalinya ia menyaksikkan sebuah kecelakaan. Namun melihat Mitsuharu pelakunya, ini terkesan seperti baru baginya.
Setelah menenangkan dirinya, Chinatsu bergegas melanjutkan perjalanan pulangnya.
—–
Kriiiiing ….. !!
Bel sekolah berbunyi dengan nyaring menandakan sekolah telah usai. Para siswa Horikoshi Gakuen SHS lansung meninggalkan kelas masing-masing. Ada beberapa siswa saja yang masih menetap di dalam kelas, diantaranya adalah Mitsuharu Arihyoshi dan Hitaru Asanuma.
“Mitsuharu-san, mengapa kau melamun saja daritadi pagi?” Hitaru menepuk punggung sahabat karibnya dengan cukup keras.
Mitsuharu hanya tersenyum masam. Ia menjawab pertanyaan Hitaru dengan berbohong, “Ah aku baik-baik saja, Hitaru. Kau saja yang terlalu! Ha ha.” Ia tertawa hambar dan nadanya seperti dibuat-buat.
Hitaru mengernyitkan dahinya bingung,”Yang benar? Ehm, Mitsuharu-san apa kau mau menemani melihat keadaan ayahku hari ini?” Mitsuharu tampak terkejut. Jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik. Ia dilanda perasaan bersalah setelah kejadian malam kemarin.
“Hitaru, aku sepertinya ada acara siang ini. Jadi, maaf aku tidak bisa menemani. Lain waktu saja akan ku temani. Permisi, Hitaru-chan!” Mitsuharu mengambil tasnya kasar dan buru-buru meninggalkan Hitaru yang kebingungan.
“Aneh sekali sikap Mitsuharu hari ini.” Katanya bermonolog lalu segera pergi meninggalkan kelas.
—–
Hitaru memegang tangan kanan ayahnya yang tidak diinfus. Sesekali ia mengusapnya lembut dan menempelkannya di kedua pipinya. Berharap semoga ayahnya lekas bangun. Air matanya sudah meleleh dan mengalir terus-menerus sejak ia tiba di ruang rawat ayahnya ini.
Gadis berambut hitam panjang itu tidak mengetahui pasti bagaimana ayahnya bisa berada di rumah sakit ini. Ia hanya mendapat penjelasan inti dari dokter yang menangani ayahnya. Dokter itu mengatakan bahwa ayahnya mengalami kecelakaan tadi malam dan ada seorang pemuda yang membawanya kemari dengan keadaan yang terbilang parah. Dokter tersebut juga tidak mengetahui siapa pemuda yang membawa ayahnya kemari. Pemuda itu hanya membawa ayahnya ke rumah sakit ini kemudian menghilang tanpa sepengetahuan si dokter. Hal itu yang membuatnya geram karena ia tidak mengetahui siapa pelaku penabrak ayahnya.
—–
Hari ini Hitaru tidak masuk. Banyak siswa yang menyebarkan info bahwa ayah Hitaru meninggal. Tidak ada yang tahu info tersebut benar atau tidak. Info kematian ayah Hitaru benar-benar menambah rasa ketakutan Mitsuharu. Semakin besar rasa bersalahnya terhadap apa yang ia lakukan. Ia hanya terdiam melamun di kelas, berusaha tidak memperdulikan info itu. Ia terus memandangi bangku Hitaru yang kosong.
“Hey, Mitsuharu! Kau tidak ingin datang ke rumah sahabatmu?” tiba-tiba seorang temannya datang, membuyarkan lamunannya.
“Eh? Aku akan kesana pulang sekolah nanti,” jawab Mitsuharu dengan ekspresi yang mungkin terlihat datar. Ia tampak tak bersemangat hari ini.
—–
Sepulang sekolah Mitsuharu lansung menyetir mobilnya menuju rumah Hitaru. Sesampainya disana ia melihat keadaan rumah Hitaru yang ramai serta diselimuti hawa berkabung. Mitsuharu memperhatikan dari dalam mobil dengan perasaan sangat bersalah. Ia terus merutuki dirinya sendiri, ia ingin waktu dapat diputar kembali dan ia berjanji untuk berhati-hati malam itu.
Beberapa menit setelah ia berperang dengan batinnya, ia turun dari mobil. Berjalan memasuki rumah Hitaru yang terbilang cukup sederhana dan ramai oleh beberapa pelayat saat ini. Di ambang pintu ia melihat Hitaru yang menangis sesenggukan sembari memeluk jenazah ayahnya. Mitsuharu benar-benar miris dibuatnya. Ia merasa telah membuat hancur hidup Hitaru. Ia menyesal karena ia telah membuat Hitaru menjadi anak yatim piatu.
“Hitaru-chan ..” panggil Mitsuharu lirih. Hitaru menoleh perlahan. Matanya sembab akibat menangis terus-menerus, sampai sekarang pun ia masih menangis.
“Mitsuharu?” Hitaru menyebut nama Mitsuharu seraya berlari memeluk sahabatnya itu. Dalam pelukan Mitsuharu ia menangis sejadi-jadinya. Dan itu semakin membuat Mitsuharu merasa sangat bersalah dan terasa menyakitkan bagi dirinya.
“Hitaru-chan. A-aku.. turut berbela sungkawa atas kematian ayahmu.” Mitsuharu mengucapkannya dengan nada yang terkesan berat.
Hitaru melepaskan pelukannya kemudian mengusap air matanya lembut. Ia berusaha tersenyum setelah itu, “Terima kasih, Mitsuharu.” Ucapnya lirih, ia kembali menangis lagi.
—–
Hari demi hari berlalu. Semua ini terasa berat bagi Hitaru yang baru saja kehilangan ayahnya. Ia tidak memiliki apa-apa lagi sekarang. Ia menjual rumah peninggalan ayahnya beserta isinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia harus kembali menelan pahitnya hidup untuk yang kedua kalinya. Bukan kali pertama ia kehilangan. Saat ia masih kecil, ia sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seorang ibu. Dan sekarang, ia berusaha untuk menjalani hal yang sama.
Namun itu semua tidak berjalan lama karena Mitsuharu menawarkannya untuk tinggal bersama. Mitsuharu merasa ia harus menyembuhkan Hitaru dari lukanya, luka yang sebenarnya dibuat oleh dirinya sendiri. Ia juga tidak keberatan untuk hidup bersama Hitaru karena ia akan dibantu oleh pembantu sekaligus pengasuhnya sejak kecil untuk merawat Hitaru.
Mitsuharu sendiri juga tidak memiliki kedua orangtua. Ia ditinggalkan oleh kedua orangtuanya saat berumur 10 tahunan dengan alasan bahwa Mitsuharu bukan anak kandung mereka. Sejak saat itu Mitsuharu hidup bersama pembantu yang sudah dianggap orangtua asuh bagi Mitsuharu. Mereka berdua menyambung hidup dengan penghasilan Mitsuharu dari pekerjaan sampingannya menjadi penerjemah bahasa bagi para petinggi negara.
Mitsuharu dan Hitaru menjadi senasib sekarang. Mereka bersama-sama hidup tanpa kedua orangtua.
—–
Hitaru tinggal bersama Mitsuharu sampai ia beranjak dewasa dan kuliah bersama-sama dengan Mitsuharu. Dalam hati kecilnya Hitaru masih menyimpan sebuah tanda tanya besar atas penyebab kematian ayahnya. Ia masih belum bisa melupakan dan menerima kenyataan sebelum ia mengetahui siapa pelaku itu. Seseorang yang menyebabkan ayahnya meninggal karena gegar otak yang parah akibat tabrakan.
Hidup bersama Mitsuharu ternyata membuatnya diam-diam menyimpan sebuah perasaan. Perasaan yang membuat Hitaru tidak tenang dibuatnya. Mungkinkah ia jatuh cinta? Ia selalu bertanya pada dirinya sendiri tentang perasaannya itu. Ia tidak berani mengungkapkannya kepada Mitsuharu karena takut Mitsuharu ternyata hanya menganggapnya seorang sahabat tidak lebih. Jadi Hitaru memilih untuk menyimpannya saja daripada mengungkapkannya.
—–
Di lain tempat.
Chinatsu masih belum bisa tenang setelah apa yang dilihatnya pada malam masa lalunya itu. Ia masih mengingat benar bagaimana peristiwa itu berlansung dan siapa pelakunya. Ia seperti mendapat dorongan untuk mengatakan pada Hitaru siapa pelaku penabrak ayah Hitaru itu. Seakan-akan ia mengerti apa yang ada dalam pikiran Hitaru setelah peristiwa malam itu. Di sisi lain dirinya Chinatsu sebenarnya tidak ingin mengatakannya. Ia sendiri takut. Takut bagaimana nasib Mitsuharu setelah ia memberitahu Hitaru tentang masalah ini. Ia takut kalau-kalau Hitaru melaporkan Mitsuharu ke pihak berwajib karena tidak terima. Ia jadi tidak tega, apalagi selama ini Chinatsu juga diam-diam menyimpan rasa kepada Mitsuharu.
—–
“Mitsuharu-san, kira-kira siapa ya pelaku tabrakan itu?” pertanyaan Hitaru membuat tenggorokan Mitsuharu tercekat. Ia terdiam dan membiarkannya perasaan takut serta bersalah mengacaukan pikirannya.
Mitsuharu dan Hitaru sedang berada di sebuah taman saat ini. Mereka melepaskan penat sejenak setelah mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk. Baru saja perasaan mereka lega dan senang. Pemandangan danau, beberapa hewan taman yang ada dan rumput-rumput serta semak belukar tertata cantik tidak membuat Hitaru melupakan tentang masalah kematian ayahnya walau hanya beberapa detik. Gadis itu seperti tidak bisa melupakan masalah tersebut.
Perasaan bersalah yang teramat dalam dan sakit seperti dicabik-cabik kembali menyelimuti Mitsuharu. Keringat dingin keluar setetes demi setetes melalui dahinya. Ia benar-benar merasa bersalah karena selama ini tidak mau mengakui bahwa dirinya lah yang telah menabrak ayah sahabatnya itu. Seketika itu juga tubuhnya melemas dan terasa panas di sekitarnya. Angin musim gugur yang dingin tidak bisa membuat dingin perasaan Mitsuharu.
“Mitsuharu? Kau pucat? Kau sakit?” Hitaru memegang kedua bahu Mitsuharu. Mimik wajahnya terlihat cemas. Mitsuharu hanya terdiam, semakin pucat.
Hitaru merangkul lengan kanan Mitsuharu kemudian menuntunnya untuk pulang. Baru berjalan beberapa langkah datang seorang gadis Jepang seumuran dengan Hitaru. Gadis itu memiliki perawakan tinggi ideal dan memiliki paras yang cukup cantik sama dengan Hitaru. Mata gadis itu memandangi Hitaru dan Mitsuharu bergantian dengan pandangan yang aneh. Ketiga orang itu berpapasan, mereka berdiam untuk beberapa saat sampai gadis tersebut membuka mulut.
”Ehm .. apakah kau Hitaru-chan?” tanya gadis itu dengan senyum yang tersungging di bibir mungilnya.
“Iya, kau siapa? Dan apa maumu?” Nada Hitaru terkesan kasar, gadis itu hanya tersenyum.
Mitsuharu dan Hitaru sama-sama dilanda kebingungan oleh kedatangan gadis misterius tersebut.
“Aku Chinatsu Kanesaka, Hitaru-chan!” Chinatsu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan kanannya, uluran tangan itu disambut hangat oleh Hitaru, “Aku dulu satu SMA denganmu dan Mitsuharu. Kau mungkin tidak mengenalku karena aku memang tidak populer, tidak seperti kalian berdua.” Hitaru mengernyitkan keningnya, bingung. Ia memang pernah melihat gadis ini dulu, tapi ia tidak mengenalnya.
“Lalu, apa maumu, Chinatsu?” Tanya Hitaru keheranan.
“Aku hanya ingin memberitahu siapa pelaku penabrak ayahmu, Hitaru-chan.” katanya sambil tersenyum meremehkan. Mata Chinatsu terlihat licik seketika itu. Berbeda dengan Mitsuharu yang semakin mengeluarkan keringat dingin dan bertambah pucat seperti mayat hidup.
“A-apa? Maksudnya kau tahu siapa yang menabrak ayahku?” mimik wajah Hitaru menjadi penasaran bercampur bingung.
“Ya..” Chinatsu berjalan mengitari mereka berdua. Kemudian berhenti di depan Mitsuharu. Menatap wajah Mitsuharu dari dekat. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya ia dapat melihat wajah Mitsuharu sedekat ini, benar-benar tampan batinnya.
Mitsuharu hanya menunduk dan berdo’a semoga Chinatsu cepat-cepat pergi.
“Bagaimana kalau pembunuh ayahmu adalah sahabatmu sendiri, Hitaru-chan?” Mitsuharu mendongakkan wajahnya dengan mimik kaget. Begitu juga dengan Hitaru. Mereka saling bertatapan satu sama lain.
Hitaru melepas pegangan tangannya di lengan Mitsuharu. Ia menatap Mitsuharu dan Chinatsu bergantian. Mitsuharu menatap mata Hitaru sayu. Ia tidak benar-benar tidak dapat berpikir apa-apa lagi.
“Penabrak ayahmu malam itu adalah Mitsuharu, Hitaru-chan. Sahabat karibmu selama ini. Terserah kau mau percaya atau tidak, tapi aku sendiri yang menyaksikkan kecelakaan itu. Hanya ada aku, ayahmu, dan Mitsuharu malam itu. Sekarang kau tahu kan bahwa Mitsuharu selama ini menyembunyikan sebuah kebohongan besar?” Chinatsu tersenyum licik. Mungkin rencananya memisahkan Hitaru dan Mitsuharu akan berhasil. Dia berharap mereka akan memutuskan tali persahabatan mereka. Setelah puas mengatakan apa yang seharusnya ia katakan, Chinatsu beranjak pergi meninggalkan mereka berdua yang saling bertatapan tidak percaya.
Cairan hangat mulai menggenangi kedua mata Hitaru. Air matanya meleleh mendengar pernyataan pahit dari Chinatsu. Ia merasakan marah yang hebat serta perasaan tidak percaya kepada Mitsuharu.
“Mitsuharu ..” panggil Hitaru lirih. Dadanya terasa sesak karena menahan sakit.
“Hitaru-chan.. maafkan aku! Tetapi aku benar-benar tidak sengaja malam itu. Aku tidak sengaja melakukannya, Hitaru-chan. Aku tidak sengaja..” Mitsuharu berusaha menjelaskan tapi sepertinya sia-sia.
Hitaru semakin merasakan sakit. Ia merasa dibohongi oleh sahabatnya sendiri selama ini. Orang yang ia anggap sangat baik ternyata adalah seorang pembohong besar. Ia membohongi Hitaru selama bertahun-tahun.
“Mengapa kau tidak mau jujur, Mitsuharu? Andaikan saja kau jujur, aku pasti bisa memaafkanmu. Mitsuharu.. kau..” Hitaru tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia terhambat oleh tangisan dan dadanya yang semakin lama semakin terasa menyakitkan serta menyesakkan.
Hitaru berlari pergi meninggalkan Mitsuharu. Mitsuharu tidak tinggal diam, dia berlari mengejar Hitaru. Sesekali menggenggam erat tangan Hitaru dan berusaha menjelaskan. Namun sia-sia.
Hitaru terus berlari pergi tanpa menghiraukan Mitsuharu.
Dengan tangan kanan yang membekap mulutnya Hitaru berlari sekuat tenaga. Perasaannya sudah tidak menentu lagi. Ia menyesali kebohongan yang telah dilakukan Mitsuharu.
Andaikan saja kau mau mengaku, Mitsuharu. Andaikan saja kau tidak membohongiku selama ini, mungkin aku akan memaafkanmu. Memang tidak semudah itu memaafkannya, tapi dengan kau berbohong semakin susah untuk memaafkannya, Mitsuharu. Aku membencimu.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen dengan judul Cry. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://deden-arpega.blogspot.com/2013/07/cry.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown -

Belum ada komentar untuk " Cry"