Oleh: Sisca Viasari
“He Bule! Ati-ati dong bawa motor!”
Aku
mendengus. Entah untuk yang berapa ratus kalinya, aku dipanggil “bule”
oleh orang-orang sekitar. Tetangga, teman sekolah, orang yang baru kenal
dan sekarang, orang tengil yang lagi nyetir ini. “Bu, kenapa sih wajahku kayak gini? Gak seperti A Yudi atau Dik Santi?” tanyaku menyebut kakak dan adik kandungku.
“Sudahlah, Laras..harusnya kamu malah bersyukur punya wajah begini, yang lain aja kepingin tuh” jawab ibuku.
“Ngomong-ngomong, siapa sih yang punya darah bule?”
“Hmmm..” ibu berlagak mikir “Kayaknya ibunya eyangmu dari Ayah orang Belanda totok. Sudah cuma dia saja, kesini-sininya mah teu aya deui ”
Oke, kembali ke jalan raya..
“Siapa yang bule?? Lagian angkot lo tuh yang mepet aja ke gue!!” sentakku kesal. Baguuuus, pagi-pagi sudah berantem sama supir angkot. Mana jalanan di depan macet total karena demonstran dengan rajinnya jam setengah tujuh pagi begini sudah memenuhi ruas jalan Riau. Tahu tidak? Kini aku berada persis di depan gedung pengadilan, tempat Ariel Peterpan jam sepuluh nanti disidang. Perfect! Sempurna!
“Lagian angkot butut begini aja, takut amat sih kegores. Kaga ngaruh tauuu!” kataku keras-keras, biar terdengar si supir.
“Geuning tiasa bahasa Indonesia si bule ” komentar supir angkot. Seluruh penghuni angkotnya tertawa. Aku meringis.
“Gue orang Garut, mau apa lo??”
Se-angkot ketawa lagi. Sialan, emang percakapan antara aku dan supir angkot ini lucu apa?
“Ya sudah, sesama orang Garut mah jangan saling mendahului atuuuh, apalagi saling menggores” komentar si supir lagi, membuat pertengkaran ini semakin tidak penting. Makanya, begitu ada celah karena mobil di depanku agak maju, aku langsung geber gas si Mio cantikku ini, meninggalkan sang supir dengan seluruh penghuni angkotnya yang tak berperasaaan itu.
***
“Ehh, ada Arumi Bachsin lewat”
goda anak-anak kelas tiga IPA ketika aku melewati gerombolan mereka.
Aku kesal. Salah sendiri, sudah tahu kalo pagi, koridor ini pasti penuh
sama senior-senior itu. Apa boleh buat, kepalang tanggung.“Yang ini mah Arumi Bersin kaleeee. Hahaha!!”
Pasti suara Tino, yang dua hari lalu cintanya aku tolak. Bukan si Tino aja disitu. Ada Doni, Yulis, Janu dan entah siapa lagi deh yang cintanya aku tolak-tolakin. Ya, mereka mengejekku karena kesal karena cinta gak kesampaian, mungkin? Kasian, deh!
“Hehe, dia mah bulgar. Bule Garut. Palsu” komentar salah satu dari mereka yang tak sempat aku lihat wajahnya. Tawa mereka berderai-derai. So what?
***
“Laraaaasss…!!! Siniiii!!”
Rita, cewek imut yang selama ini jadi teman satu bangku menyeretku
menuju kerumunan cewek-cewek di kelas.“Apaan??”
“Cepetan…!”
“Naaah! Ini yang kita tunggu…”
“Pokoknya dari sekolah kita harus ada yang jadi selebritis, dan….siapa lagi nih kandidatnya kalo bukan Larasati Dwi Kurnia Widiastuti….!!”
“Maksudnyaa??” aku melongo. Weni menyuruhku duduk, lalu mulai menjamah rambut coklatku yang ikal gelombang sebahu.
“Hm, tinggal di make over sedikit aja, trus kita kasih dia kaos kutung, rok Spartan dan sepatu boots hijau keren milik gue itu, sempurna deh!”
“Gue punya bolero rajutan warna ijo pemberian tante gue dari Jepang. Matching, Wen” kata Gia. Aku semakin tidak mengerti.
“Rambutnya, kita percayakan aja sama Mas Sunan, salon langganan gue. Dia biasa menangani Hair do-nya para selebriti Bandung” kata Kinanti.
“STOP!!!” teriakku. Semua terdiam. “Kalian ini apa-apaan sih? Gue baru dateng udah pada nyembur semua! Udah, gue mau belajar Fisika dulu”
“Ehh, duduk dulu Say, gini..gini..” Weni berdehem-dehem. “Besok, jam sepuluh, di Sabuga ITB, ada casting calon pemain film: ‘Begini-begini Aku Cinta Kamu, Lho! Pemain cowoknya, Irfan Bachdim”
“Pemain bola itu !?” tanyaku. Semua membenarkan.
“So?”
“Sutradaranya keren,” lanjut Weni “PHnya bonafid, mereka lagi nyari talent baru buat pasangan si Irfan dan buat tokoh-tokoh lain. Nah, inilah kesempatan buat sekolah kita terkenal se-Indonesia, gara-gara ada salah seorang muridnya main di film itu!!”
“Terus? Apa hubungannya sama gue??”
“Iiih, cantik-cantik bego!” kata Kinan “Ya, elo harus ikutan casting ituuuuu!!”
“Kenapa harus gue??”
“Ya cuma lo yang memenuhi syarat. Wajah bule lagi laris, Ceu, apalagi buat disandingkan dengan Irfan Bachdim!”
“NO WAYYYY”
Aku teriak dan melarikan diri dari kerumunan teman-teman sekelas. Mereka gak peduli, terus mengejarku sampai di tikungan bertemu dengan pak Prana guru Fisika yang sedianya akan mengajar di kelas kami pagi ini. Aku gak peduli, aku terus lari menuju gerbang belakang sekolah, kabur, daripada jadi bulan-bulanan teman-temanku untuk ikutan casting konyol itu, mending aku bolos aja deh pelajaran Fisika pagi ini. Gak apalah sekali-kali..
***
Aku sudah di Sabuga ITB.
Gedung megah milik Institut beken itu sudah ramai dengan orang-orang
yang ingin mengadu peruntungan di blantika perfilman dan persinetronan
Indonesia. Casting. Gak kebayang seperti apa sih suasana casting itu.
Aku menyeret sepatu boots hijau yang kata Weni keren punya ini. Keren
apaan? Bikin aku jadi seperti orang kebanjiran begini koq dibilang
keren.“Ras, jangan diseret boots gue, ntar solnya habis. Mahal tuh beli di Belanda!”
“Salah sendiri lo pinjemin ke gue!”
“Laras, inget ya: Senyum. Kemarin gue udah ajarin tehnik akting sedikit kan? Optimis deh lo bakalan dapet peran utama ceweknya. Gue yakin banget!!” kata Gia, sambil memoleskan blush on lagi ke pipiku.
Rita, Weni, Kinanti, dan Gia, menggiringku menuju pintu utama Sabuga. Aku risih. Diantara mereka aku memang yang paling jangkung sendiri, plus ditambah aku yang paling dandan sendiri. Aku rikuh ditengah tatapan puluhan orang-orang, ditambah perlakuan teman-teman yang berlebihan ini bikin aku seperti ondel-ondel yang mau manggung.
“Nama?” tanya petugas pendaftaran.
“Larasati Underwood” jawab Weni. Spontan aku menoleh heran. Melihat reaksiku, Weni senyum,
“Sesuai wajah lo, gak pantes pake nama Larasati DK Widiastuti”
“Hmm, jangan Mas, tulis namanya Larasati Fruitstone aja!” samber Gia, membuat si petugas mengerut alis. Aku menoleh ke Gia.
“Kan sesuai tempat tinggal gue di Buah Batu. Fruit artinya buah, Stone artinya Batu. Ya kan??”
“Underwood aja sesuai daerah rumah gue di Jatihandap. Jati itu kayu, handap itu bawah, jadi di Inggrisin Underwood!” Gia maradang.
“Fruitstone aja biar sounding like Sharon Stone, Bego!!”
“Pokoknya Underwood! Biar disangka turunan Clint Eastwood!!”
“Fruitstone!”
“Nona-nona, jadi saya musti tulis siapa nih namanya?” petugas pendaftaran mulai tidak sabar.
“Larasati DK Widiastuti aja, Mas” jawabku. Teman-temanku mendelik tidak senang.
“Kenapa? Irfan yang mukanya bule banget aja pake nama Indonesia, kan?” jawabku tenang.
“Oke, silahkan masuk, Mbak. Pintu depan itu belok kiri” kata si Mas petugas.
Aku bersorak ketika namaku tidak masuk dalam jajaran talent terpilih. Yang lebih membahagiakanku, calon pemeran wanita yang sedianya mendampingi Irfan Bachdim justru berwajah Indonesia banget. Setelah dapat bocoran sana sini, ternyata film ini akan berkisah tokoh utama pria yang seorang turis kesasar masuk ke hutan dan ditolong oleh wanita lokal. Haha! Aku puas memandangi wajah teman-temanku yang menyesal, kenapa bukan mereka sendiri saja yang ikutan casting.
***
Sudah lama aku naksir dia.
Ups, terlambat deh dibilang naksir. Mungkin diam-diam aku sudah jatuh
cinta padanya. Namanya Nanda. Pekerjaannya, guru disc jockey di
Gelanggang Generasi Muda Bandung. Aku mengenalnya setengah tahun lalu
ketika aku mulai masuk kelas Wushu di GGM ini. Wajahnya sih ganteng
standar, tapi kurasa seluruh tubuhnya terbuat dari magnet hingga begitu
menarik perhatianku. Apalagi melihat gayanya kalau lagi nge-DJ. Aduuh
gak kuat deh. Keren banget!!Matanya tidak bisa melihat. Menurut cerita sobatnya, itu bukan buta bawaan lahir. Dulu, Nanda sangat bandel, suka kebut-kebutan motor dan mobil. Ketika SMA dia kecelakaan mobil, dari situlah, perlahan fungsi indra penglihatannya berkurang dan kini tidak bisa melihat.
“Kok gak operasi aja Mas?” tanyaku.
“Mau. Tapi belum punya duit. Nanti ya ngumpulin dulu” jawabnya sambil tersenyum. Dadaku berdesir melihat senyumnya. Aku tidak tahu apakah dadanya juga berdesir jika berdekatan denganku seperti ini. Konon, fisik adalah hal pertama yang dilihat pria dari seorang wanita, yang kedua baru hatinya. Jika dia tidak bisa melihat fisikku, bisakah dia jatuh cinta padaku?
***
Suatu sore pulang dari latihan
Wushu, aku sengaja menemui Nanda di studio DJ yang letaknya di lantai
2. Kelasnya baru saja selesai dan beberapa muridnya masih ngumpul untuk
diskusi sesuatu. Ketika mulai sepi, aku mendekatinya. “Hm! Hm!”
“Laras, ya?”
“Iya, Mas. Udah beres?”
Dia menyuruhku duduk di sebelahnya. Aku menyentuh tangannya.
“Kalo udah beres, ke CCF yuk! Ada pianis dari Prancis manggung. Gratis lho!”
“Ohya??”
“He-eum!”
“Oke, aku bersiap dulu ya!”
Auditorium Centre Culturel de Français atau CCF Bandung sudah hampir penuh. Maklum pertunjukan gratis. Aku menuntun Nanda mencari tempat duduk dan aku bersyukur dapat tempat duduk yang strategis, bisa memandang langsung pianis muda berbakat dari negeri Eiffel itu.
“Beethoven, Symphony Number Nine..” desisnya sambil memadang lurus ke depan. Aku kaget mendapati kalau ternyata dia tahu lagu yang sedang dibawakan si artis. Memang, dalam guide book yang sedang kupegang ini, lagu pertama yang dibawakan adalah lagu yang disebut Nanda tadi. Hebat!
Aplaus panjang dari audiens membahana dan berhenti seiring lagu kedua mengalun.
“Yang ini apa, Mas?” tanyaku mengetes, seperti pembawa acara kuis.
“Bocherini, Minueto”
Lagu ketiga,
“Beethoven, Contredanses”
“Kereeen..” desisku.
***
“Laras,” panggil Nanda ketika
suatu sore kami berdua sengaja nongkrong ke Dago Pakar. Aku sih yang
mengajak. Ya, sekedar menghirup udara segar dan jauh dari polusi kota
Bandung yang makin menyesakkan.“Ya, Mas?”
“Kenapa ya, lama-lama aku kok makin suka sama kamu?”
“APA?” aku terhenyak
“Kamu gak senang ya?”
“Euuuh, bukan…bukan itu, aduuuhh” aku menggigit bibir. Ya Allah, tentu saja aku senang!
“Tapi, Mas… sorry nih, Mas Nanda kan gak bisa lihat aku, masa sih, cowok bisa suka sama cewek tanpa melihat fisik dari si cewek itu?”
Dia tergelak.
“Ya ampun kamu naïf banget. Kamu SMA banget sih! Eh denger ya, buat orang seusia aku ini, fisik memang penting, tapi ya bukan yang utama. Apalagi, aku sadar aku juga punya kekurangan fisik..”
“Ooh gitu ya?” aku garuk kepala.
“Kalo kamu, suka juga gak, sama aku?”
“APA? Eh ya, ya! Aku memang sayang kok sama Mas Nanda”
Ups! Aku menutup mulutku. Kok jadi aku nih yang nyatain duluan?
“Sayang? Kamu sayang sama aku, Laras?”
“Yaaa, gitu deh..” pipiku memerah, “Gak apa-apa, kan Mas?”
“Ya, gak apa-apa. Tapi Laras gak malu nih, jalan sama orang buta?”
“Alhamdulillah enggak. Mas Nanda kali yang malu ya? Jalan sama orang yang mirip Mpok Ati kayak aku..”
“Kamu kayak Mpok Ati? Asyik, berarti kamu cantik dong” Nanda tersenyum, dan meringis ketika aku meninju lengannya
“Aku kan fansnya Mpok Ati, hehehe” lanjutnya dan kamipun tergelak bersama.
“Laras, hatiku bilang kamu cantik sekali dan terlebih hatiku juga bilang kalau kamu sayang sama aku. Itu yang terpenting..”
Aku tersenyum senang karena telah menemukan dia. Akhirnya, ada orang yang tidak melihat wajah buleku dengan matanya seperti cowok-cowok lain, tapi dengan hatinya. Seperti mas Nanda ini …
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen
dengan judul Wajah Buleku. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://deden-arpega.blogspot.com/2013/10/wajah-buleku.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown -
Belum ada komentar untuk "Wajah Buleku"
Posting Komentar