Mawar. Begitulah panggilannya. Orang bilang, Mawar adalah bunga yang
indah dan harum. Banyak orang mengagumi Mawar. Mereka, sangat menyukai
dan mencintainya. Namun, aku berbeda dengan mereka. Aku sama sekali tak
pernah lagi tertarik pada Mawar. Sebelumnya, aku sangat menyukai Mawar.
Bahkan aku rela menjaganya agar Mawar itu tak pernah rapuh. Namun,
setelah ku ketahui apa yang ada di balik Mawar, aku menjadi membencinya.
Aku sangat membenci Mawar. Semuanya berawal dari sebuah kisah. Kisah di
mana aku jadi membenci Mawar.
“Nas, kamu maukan jadi pacar aku?” Ucap pemuda itu penuh harap sambil menyondorkan sebuah Mawar padaku. Tingkahnya sama percis seperti seorang pangeran yang hendak melamar Cinderellanya. Dia rela menatapku lama dengan tatapan berbinar-binar. Beribu-ribu jawaban berkeliaran dan berhamburan di otakku. Banyak sekali sesuatu yang ingin aku ucapkan. Aku bingung. Kalimat mana yang akan ku ucapkan.
“Tapi, bukankah kau berpacaran dengan Meira?” Ucapku penuh tanya padanya. Diapun berdiri dari jongkoknya. Dia memandangku sama dengan tatapan sebelumnya. Tatapan berbinar-binar.
“Nasya, sudah beberapa kali aku bilang. Aku sudah putus dengannya.” Lanjutnya lagi sambil memegang tangan kananku. Diapun menyelipkan sekuntum mawar merah di sela-sela jariku. Akupun menatapnya nanar. Dia hanya mengangguk pelan. Seketika dia melepaskan genggamannya, akupun memeluk mawar itu di atas dadaku. Sesaat, dia langsung memandangku penuh pertanyaan. Sementara aku, aku hanya meniru tindakannya tadi. Mengangguk pelan. Seketika, dia langsung memelukku saat itu juga. Aku langsung membalas pelukannya bersamaan tangan kananku menggenggam mawar.
“Aku mencintaimu, Nasya,” Bisiknya di telingaku.
Hujan hari ini masih mengguyur sekitar kota. Titik air semakin lama semakin bertambah saja. Aku hanya duduk kecil menghadap jendela kamar. Melihat jalan di depanku yang cukup padat dan sorot lampu tiap kendaraan yang menerangi gemerlapnya malam seiring hujan bernyanyi.
Aku masih terduduk memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar jalanan. Dengan sebuah mawar yang menemaniku menatap cuaca malam ini, semakin betah saja. Walau perasaan ngantuk mulai menyeruak sela-sela kelopak mataku. Tapi, aku masih terdiam di sini bersama Mawar pemberian Wendi kemarin. Aku masih dapat merekam jelas tiap-tiap detik berharganya Wendi menyatakan cintanya padaku. Baru kali ini, aku di tembak seseorang secara langsung. Tanpa via SMS ataupun menelepon. Atau lewat surat dan surel.
Wendi memang pria yang percaya diri. Badannya tinggi mungkin setinggi pintu. Dia juga memiliki wajah yang bisa di bilang lumayan. Cukup banyak gadis yang menginginkannya. Tapi aku belum terlalu tahu, apakah dia pria baik-baik atau bukan. Meskipun begitu, aku tetap percaya padanya.
Tetes-tetes air yang terjatuh dari tadi kini mulai kehabisan peserta. Sekarang, hujan tak terlalu mengguyur lalu lintas Jakarta ini. Walau kemarin-kemarin daerah ini di landa banjir, namun, hujan saat ini tak memberikan dampak buruk sama sekali pada keadaan di kota ini. Seketika aku betah memandang hujan dan lalu lintas yang saling bergantian, tiba-tiba aku tercengang melihat seorang pria bersama gadis naik motor bersama. Aku dapat tahu jelas siapa mereka. Ya, Wendi dan Desi. Tunggu, mengapa Wendi mebonceng Desi dengan sepeda motornya? Ada apa ini?
Kuputuskan untuk mencoba menghubunginya.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif cob..”
“Tet.” Akupun mengakhiri panggian tersebut. Nomor Wendi tak aktif. Apa benar dia sedang bersama Desi. Apakah dia playboy? Arghh, mulai lagi ribuan pertanyaan itu merasuk benakku. Apa benar semua ini.
Kini aku hanya terdiam menatap lagit gelap tanpa gemerlap bintang. Gurauan angin malam membelai lembut tirai kamarku yang kebetulan ku bukakan jendelanya. Seketika itu, ponselku berdering. Akupun meraih benda kecil itu. Terlihat Wendi menghubungiku. Tadi, dia tak aktif. Sekarang dia menghubungiku. Akupun membiarkan ponselku itu berdering. Sekejap saat ku palingkan wajahku menuju jalanan luar lagi, ku lihat Wendi berjalan menuju gerbang rumahku. Dia memakai payung hitam dengan ponselnya tertempel di telinganya. Dia menatap ke atas. Tepatnya ke arahku. Diapun mematikan panggilannya dan memasukan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Akupun turun dan mengambil payung bermaksud menghampirinya.
“Mengapa kau tak mengangkat teleponku?” Tanyanya dari luar gerbang. Aku masih berdiri di iringi rintik hujan yang masih berjatuhan di malam ini.
“Aku, aku tak mendengar deringannya.” Ucapku berbohong padanya sambil masih mematung di depan pintu gerbang. Karena aku tahu, pintu gerbangku sudah di kunci dan kuncinya terdapat di Pak Dede. Aku bisa dimarahi jika meminjam kuncinya.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini. Mawar kemarin mungkin sudah rusak. Kau bisa menggantinya dengan ini.” Ujarnya seraya tersenyum dan menyondorkan mawar itu padaku lewat sela-sela gerbang. Akupun dengan sedikit ragu menerimanya.
“Thanks ya, kamu rela ujan-ujanan cuma buat ngasih mawar ini. Padahal mawar yang kemarin masih ku simpan. Masih sedikit utuh. Kamu bisa lihat, di pinggir jendela.” Ucapku manis seraya membalas senyumannya.
“Hahah, jaga yang baik ya sayang mawarnya. Itu tanda cinta kita.”
“Haha, iya aku jaga. Maaf ya, kamu diem di luar gini. Gak aku izinin masuk. Gerbangnya udah di kunci sama Pak Dede, nanti aku kena marah. Kamu sih, datang ke sini malam-malam.” Ujarku padanya. Dia hanya tersenyum tipis padaku.
“Iya gak papa. Ya udah, kamu tidur dulu aja. Sekarang udah malem. Besok mau sekolah kan? Aku pulang dulu ya sayang. Byee muahh.” Ucapnya seraya melambaikan tangan dan berlalu dari hadapanku. Akupun terus memandangnya sambil memegang mawar hingga aku tak dapat lagi melihat bayangannya. Setelah itu, barulah aku masuk kamar ku lagi. Akupun masih belum tidur dan terus memandangi mawar itu. Di depan jendela. Ternyata Wendi adalah pria yang sangat perhatian sekali.
“Tuutt.. tutt..” Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
“From: Wendi
Tidur dulu sayang. Mawarnya simpen dulu. Nanti besok kalo kamu kesiangan gimana? Tidur ya, cepet:* .” Begitulah isinya. Akupun segera membalasnya dengan perasaan riang.
“To: Wendi
Ya udah deh sayang. Aku simpen mawarnya ya. Mau tidur dulu. Eh kamu juga jangan lupa tidur sayang udah malem.”
Setelah ku balas pesan tersebut, akupun menutup jendela kamarku. Ketika hendak ku rebahkan tubuh di ranjang, ku lihat balasan terakhir Wendi malam ini.
“From: Wendi
Iya ini mau sayang. Have a nice dream babe.”
Hari ini aku pulang sendirian. Tadi di sekolah aku memang terus berduaan bersama Wendi ketika istirahat. Berhubung, kelas kami memang letaknya jauh karena berbeda kelas. Dan aku tak pulang bersamanya karena dia sedang ekskul. Basket tepatnya.
Aku melangkahkan kakiku pelan ke setiap tanah yang ku injak. Memang jarang aku berjalan seperti ini. Biasanya pulang berangkat selalu di antar jemput oleh Pak Dede. Tapi sekarang, aku sudah bilang padanya agar tak perlu menjemputku.
Suasana siang ini cukup bersahabat denganku. Tak terlalu memanas. Dapat ku lihat kicauan burung dan irama angin bergantian satu per satu. Seiringan dengan langkahku menambah suasana semakin tenang. Kebetulan sekarang aku melewati taman kota. Di sini memang cukup ramai. Walau rumahku tak terlalu jauh dari taman ini, tapi aku jarang berkunjung. Paling aku hanya menatapnya dan melewatinya. Sebatas itu saja. Sekarang sepertinya aku ingin sekali melemparkan bokongku ke salah satu bangku taman ini. Apalagi sambil melihat-lihat mawar. Hmm..
Akupun berniat untuk duduk di salah satu bangku di sana. Mulai ku pandang sekeliling tempat ini. Penuh dengan tanaman. Akupun beranjak mendekati sebuah tanaman mawar di sana. Dapat jelas ku cium aroma harum mawar. Akupun mendekatinya dan mencium bunga tersebut.
“Harum.” Desahku sambil tersenyum.
“Tentu saja harum. Sebagaimana aku. Hahah.” Sebuah suara yang tak asing tiba-tiba merasuk kupingku. Akupun sedikit membalikkan badan bermaksud menengok siapa yang berucap itu.
“Wendi?” Tanyaku heran plus bingung melihat wajah kekasihku ada di depanku.
“Hahah, panik banget si sayang. Iya ini aku Wendi.” Jawabnya sambil menunjuk wajahnya sendiri. Akupun tersenyum simpul padanya. Terlihat tangannya menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
“Kau menyembunyikan apa?” Tanyaku sambil sedikit melongo ke arah tangannya. Dia hanya sedikit melirik ke arah belakang.
“Tak ada apa-apa.” Ujarnya berbohong. Akupun menengok ke arah belakang Wendi. Namun dia menggeserkan posisinya.
“Sudahlah aku tahu apa yang kau bawa. Mawarkan?” Tanyaku dengan mata memandangnya. Diapun tertawa.
“Haha, pacarku ini pandai sekali. Nih.” Diapun memberikan mawar itu padaku. Aku menerimanya lalu mengusap ujung-ujung kelopak bunganya. Diapun mengacak-acak rambutku.
“Ih, kamu!”
Hujan sore tadi masih menyisakan bekas genangan air di pinggir jalanan. Angin dingin masih menyeruak berlarian di tengah suasana yang kurang mendukung ini. Aku masih terduduk lesu di depan jendela kamarku. Terlihat 9 buah mawar berjejeran di samping kanan dan kiriku. Tepatnya 4 di samping kanan dan 4 lagi di samping kiri. Sedangkan mawar yang satunya lagi ada di depanku. Mawar ini adalah mawar terbaru yang Wendi beri padaku. Sisanya ada yang tinggal batang saja, ada yang sudah rapuh dan ada yang hampir rapuh.
Semua mawar itu adalah mawar dari Wendi. Tapi akhir-akhir ini, Wendi jarang menampakkan bayangannya di hadapanku. Dia juga sudah tak memberiku mawar lagi. Entah kemana dia? Aku hubungipun dia tak aktif. Ku coba datang ke rumahnya selalu tak ada. Jika aku datang ke kelasnya dia selalu menyuruhku untuk kembali menuju kelasku. Entah kenapa Wendi jadi begini. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Apakah dia punya simpanan lain? Atau dia menjauhiku karena dia sakit seperti di film dan drama-drama? Hmm.. Kembali lagi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu menyeruak ke dalam pikiranku. Jika aku memikirkan Wendi, selalu ku coba untuk tetap memikirkan yang positif saja tentangnya. Bagaimana lagi? Aku sudah terlalu mencintai Wendi.
Mulai ku raih mawar terakhir yang Wendi beri padaku. Aku memegang batangnya. Akupun menggenggamnya keras dan..
“Aww.” Jariku terkena duri mawar itu. Langsung ku lihat jari telunjuk kananku. Berdarah. Segera akupun menuju wastafel untuk mencuci lukaku. Rasanya sedikit pedih. Langsung ku turun untuk membawa obat lukaku ini. Lalu ku perbani. Ini sedikit sakit.
Akupun kembali lagi menuju kamarku. Menatap langit mendung malam ini. Walau hanya sorot lampu tiap rumah yang mewarnai cerahnya malam ini. Sekarang, tak terlalu banyak kendaraan yang berlalu lalang. Mungkin karena jalanan licin dan sangat basah. Hujan memang sudah sedikit reda, tapi hujan di hatiku belum juga kunjung tamat.
“Apakah Wendi akan seperti Mawar? Dia akan tetap harum dan indah? Tapi dia rapuh karena memiliki suatu? Apakah itu penyakit? Seperti dalam drama, seorang pacarnya rela menjauhi kekasihnya agar dia tak tahu jika dia mempunyai suatu penyakit. Jika seandainya dia seperti itu, aku akan tetap mencintainya.” Desahku sendiri sambil menatap sekitar jalanan yang basah. Aku masih terdiam terpaku di depan jendela kamarku berharap keajaiban terjadi. Berharap Wendi tiba-tiba datang dan memberiku mawar. Mimpi aku.
Seketika, aku beranjak dari dudukku dan menutup jendela. Aku bermaksud melemparkan tubuhku ke kasur. Aku sudah mengantuk.
Mawar merah ini harum sekali. Seharum dan seindah Wendi. Dia indah sekali bagiku. Walau aku masih terduduk dan berharap Wendi datang lagi, tapi aku akan tetap percaya bahwa cerita ini akan berending bahagia. Begitulah.
Memang sudah 2 minggu ini tak ada komunikasi antara aku dan Wendi lagi. Bertemupun sudah tidak. Hubunganku dengannya sudah rumit. Aku tak mengerti dengan sikap Wendi yang tiba-tiba cuek seperti ini. Apakah dia benar-benar merahasiakan sesuatu di balik semua ini? Jika i ya, apa?
Akupun menyimpan mawar merah itu di bangku taman ini. Akhir-akhir ini aku merasa sedikit galau. Taman ini cukup bisa mencairkan rasa galauku. Jadi, aku sering berkunjung ke sini.
Seketika aku menyimpan mawarku, akupun beranjak bangun dan berjalan-jalan sekitar kota. Ku tinggalkan mawar itu di bangku taman. Akupun meninggalkan bayanganku di sana. Daripada aku masih terduduk di sana sambil menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang, lebih baik aku berjalan-jalan.
Seketika aku sedang enak berjalan, dari kejauhan aku melihat 2 sosok insan yang tak asing di mataku. Wendi dan Desi. Aku melihatnya jalan berdua. Beberapa minggu lalu, aku melihatnya naik motor bersama. Sekarang berjalan. Apa mereka ada hubungan selain berteman?
Akupun bermaksud menghampiri mereka yang tengah bercanda tawa.
“Wendi!” Seruku padanya. Wendipun sedikit melirik ke arahku.
“Nasya, mau apa kamu?” Tanyanya sedikit ketus padaku. ‘Ketus’? Seperti itukah seoarang kekasih bertindak?
“Sayang mengapa kau berjalan dengannya?” Tanyaku sedikit polos pada Wendi. Seketika itu, Desi langsung melirik ke arahku.
“Kau bilang sayang pada siapa? Bukankah kalian sudah putus?” Deg. Satu kalimat dari mulut Desi terucap begitu saja. Seketika petir itu menyambar terlalu keras sehingga membuat rubuh hatiku. Saat itu, perkataan Desi benar-benar membuat hancur hatiku ini.
“Maksudmu apa?”
“Sudahlah sayang. Dia hanya masih mengharapkanku saja. Yuk jalan lagi. Biarkan saja dia!” Jleb. Sekarang perkataan Wendi yang terlalu tajam. Dia terlalu menusukku dengan kata itu. Apa maksudnya mengharapkan? Bukankah dia belum bilang putus sama sekali. Apakah seperti ini Mawar bertindak?
Saat itu juga, hanya tinggal aku sendiri terpaku di pinggir jalanan sana. Kakiku terasa kaku sekali untuk melangkah. Bibirku kelu untuk berucap. Dan mataku lemah untuk menahan bendungan air mata ini. Hatiku rasanya robek saat ini juga. Aku kira Wendi adalah pria baik. Tapi ternyata dia sangat jauh dari dugaanku.
Sekarang, angin mulai menyeruak menerbangkan rambut gemulaiku. Hati dan perasaanku lemah sekali saat itu. Dan yang aku bisa hanyalah MEMATUNG.
Kemarin, aku baru saja mendengar cerita dari Meira. Dia bilang, Wendi memang pria seperti itu. Dia melakukan hal yang sama pada Meira seperti yang dia lakukan terhadapku. Sadis!
Aku sangat merasa bersalah pada Meira karena menerima cinta Wendi saat itu. Aku sangat menyesal pernah bercinta dengannya.
Dan kini, aku mengerti. Mengapa Wendi melambangkan dirinya seperti mawar?
Karena, mawar itu harum dan indah seperti dia. Namun, di balik semua itu, mawar memiliki duri yang bisa menyakiti kita sendiri bila mendekatinya. Dan Wendi, semakin aku mendekatinya, semakin ku tertusuk durinya.
Karena itulah aku BENCI Mawar.
-SELESAI-
“Nas, kamu maukan jadi pacar aku?” Ucap pemuda itu penuh harap sambil menyondorkan sebuah Mawar padaku. Tingkahnya sama percis seperti seorang pangeran yang hendak melamar Cinderellanya. Dia rela menatapku lama dengan tatapan berbinar-binar. Beribu-ribu jawaban berkeliaran dan berhamburan di otakku. Banyak sekali sesuatu yang ingin aku ucapkan. Aku bingung. Kalimat mana yang akan ku ucapkan.
“Tapi, bukankah kau berpacaran dengan Meira?” Ucapku penuh tanya padanya. Diapun berdiri dari jongkoknya. Dia memandangku sama dengan tatapan sebelumnya. Tatapan berbinar-binar.
“Nasya, sudah beberapa kali aku bilang. Aku sudah putus dengannya.” Lanjutnya lagi sambil memegang tangan kananku. Diapun menyelipkan sekuntum mawar merah di sela-sela jariku. Akupun menatapnya nanar. Dia hanya mengangguk pelan. Seketika dia melepaskan genggamannya, akupun memeluk mawar itu di atas dadaku. Sesaat, dia langsung memandangku penuh pertanyaan. Sementara aku, aku hanya meniru tindakannya tadi. Mengangguk pelan. Seketika, dia langsung memelukku saat itu juga. Aku langsung membalas pelukannya bersamaan tangan kananku menggenggam mawar.
“Aku mencintaimu, Nasya,” Bisiknya di telingaku.
Hujan hari ini masih mengguyur sekitar kota. Titik air semakin lama semakin bertambah saja. Aku hanya duduk kecil menghadap jendela kamar. Melihat jalan di depanku yang cukup padat dan sorot lampu tiap kendaraan yang menerangi gemerlapnya malam seiring hujan bernyanyi.
Aku masih terduduk memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar jalanan. Dengan sebuah mawar yang menemaniku menatap cuaca malam ini, semakin betah saja. Walau perasaan ngantuk mulai menyeruak sela-sela kelopak mataku. Tapi, aku masih terdiam di sini bersama Mawar pemberian Wendi kemarin. Aku masih dapat merekam jelas tiap-tiap detik berharganya Wendi menyatakan cintanya padaku. Baru kali ini, aku di tembak seseorang secara langsung. Tanpa via SMS ataupun menelepon. Atau lewat surat dan surel.
Wendi memang pria yang percaya diri. Badannya tinggi mungkin setinggi pintu. Dia juga memiliki wajah yang bisa di bilang lumayan. Cukup banyak gadis yang menginginkannya. Tapi aku belum terlalu tahu, apakah dia pria baik-baik atau bukan. Meskipun begitu, aku tetap percaya padanya.
Tetes-tetes air yang terjatuh dari tadi kini mulai kehabisan peserta. Sekarang, hujan tak terlalu mengguyur lalu lintas Jakarta ini. Walau kemarin-kemarin daerah ini di landa banjir, namun, hujan saat ini tak memberikan dampak buruk sama sekali pada keadaan di kota ini. Seketika aku betah memandang hujan dan lalu lintas yang saling bergantian, tiba-tiba aku tercengang melihat seorang pria bersama gadis naik motor bersama. Aku dapat tahu jelas siapa mereka. Ya, Wendi dan Desi. Tunggu, mengapa Wendi mebonceng Desi dengan sepeda motornya? Ada apa ini?
Kuputuskan untuk mencoba menghubunginya.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif cob..”
“Tet.” Akupun mengakhiri panggian tersebut. Nomor Wendi tak aktif. Apa benar dia sedang bersama Desi. Apakah dia playboy? Arghh, mulai lagi ribuan pertanyaan itu merasuk benakku. Apa benar semua ini.
Kini aku hanya terdiam menatap lagit gelap tanpa gemerlap bintang. Gurauan angin malam membelai lembut tirai kamarku yang kebetulan ku bukakan jendelanya. Seketika itu, ponselku berdering. Akupun meraih benda kecil itu. Terlihat Wendi menghubungiku. Tadi, dia tak aktif. Sekarang dia menghubungiku. Akupun membiarkan ponselku itu berdering. Sekejap saat ku palingkan wajahku menuju jalanan luar lagi, ku lihat Wendi berjalan menuju gerbang rumahku. Dia memakai payung hitam dengan ponselnya tertempel di telinganya. Dia menatap ke atas. Tepatnya ke arahku. Diapun mematikan panggilannya dan memasukan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Akupun turun dan mengambil payung bermaksud menghampirinya.
“Mengapa kau tak mengangkat teleponku?” Tanyanya dari luar gerbang. Aku masih berdiri di iringi rintik hujan yang masih berjatuhan di malam ini.
“Aku, aku tak mendengar deringannya.” Ucapku berbohong padanya sambil masih mematung di depan pintu gerbang. Karena aku tahu, pintu gerbangku sudah di kunci dan kuncinya terdapat di Pak Dede. Aku bisa dimarahi jika meminjam kuncinya.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini. Mawar kemarin mungkin sudah rusak. Kau bisa menggantinya dengan ini.” Ujarnya seraya tersenyum dan menyondorkan mawar itu padaku lewat sela-sela gerbang. Akupun dengan sedikit ragu menerimanya.
“Thanks ya, kamu rela ujan-ujanan cuma buat ngasih mawar ini. Padahal mawar yang kemarin masih ku simpan. Masih sedikit utuh. Kamu bisa lihat, di pinggir jendela.” Ucapku manis seraya membalas senyumannya.
“Hahah, jaga yang baik ya sayang mawarnya. Itu tanda cinta kita.”
“Haha, iya aku jaga. Maaf ya, kamu diem di luar gini. Gak aku izinin masuk. Gerbangnya udah di kunci sama Pak Dede, nanti aku kena marah. Kamu sih, datang ke sini malam-malam.” Ujarku padanya. Dia hanya tersenyum tipis padaku.
“Iya gak papa. Ya udah, kamu tidur dulu aja. Sekarang udah malem. Besok mau sekolah kan? Aku pulang dulu ya sayang. Byee muahh.” Ucapnya seraya melambaikan tangan dan berlalu dari hadapanku. Akupun terus memandangnya sambil memegang mawar hingga aku tak dapat lagi melihat bayangannya. Setelah itu, barulah aku masuk kamar ku lagi. Akupun masih belum tidur dan terus memandangi mawar itu. Di depan jendela. Ternyata Wendi adalah pria yang sangat perhatian sekali.
“Tuutt.. tutt..” Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
“From: Wendi
Tidur dulu sayang. Mawarnya simpen dulu. Nanti besok kalo kamu kesiangan gimana? Tidur ya, cepet:* .” Begitulah isinya. Akupun segera membalasnya dengan perasaan riang.
“To: Wendi
Ya udah deh sayang. Aku simpen mawarnya ya. Mau tidur dulu. Eh kamu juga jangan lupa tidur sayang udah malem.”
Setelah ku balas pesan tersebut, akupun menutup jendela kamarku. Ketika hendak ku rebahkan tubuh di ranjang, ku lihat balasan terakhir Wendi malam ini.
“From: Wendi
Iya ini mau sayang. Have a nice dream babe.”
Hari ini aku pulang sendirian. Tadi di sekolah aku memang terus berduaan bersama Wendi ketika istirahat. Berhubung, kelas kami memang letaknya jauh karena berbeda kelas. Dan aku tak pulang bersamanya karena dia sedang ekskul. Basket tepatnya.
Aku melangkahkan kakiku pelan ke setiap tanah yang ku injak. Memang jarang aku berjalan seperti ini. Biasanya pulang berangkat selalu di antar jemput oleh Pak Dede. Tapi sekarang, aku sudah bilang padanya agar tak perlu menjemputku.
Suasana siang ini cukup bersahabat denganku. Tak terlalu memanas. Dapat ku lihat kicauan burung dan irama angin bergantian satu per satu. Seiringan dengan langkahku menambah suasana semakin tenang. Kebetulan sekarang aku melewati taman kota. Di sini memang cukup ramai. Walau rumahku tak terlalu jauh dari taman ini, tapi aku jarang berkunjung. Paling aku hanya menatapnya dan melewatinya. Sebatas itu saja. Sekarang sepertinya aku ingin sekali melemparkan bokongku ke salah satu bangku taman ini. Apalagi sambil melihat-lihat mawar. Hmm..
Akupun berniat untuk duduk di salah satu bangku di sana. Mulai ku pandang sekeliling tempat ini. Penuh dengan tanaman. Akupun beranjak mendekati sebuah tanaman mawar di sana. Dapat jelas ku cium aroma harum mawar. Akupun mendekatinya dan mencium bunga tersebut.
“Harum.” Desahku sambil tersenyum.
“Tentu saja harum. Sebagaimana aku. Hahah.” Sebuah suara yang tak asing tiba-tiba merasuk kupingku. Akupun sedikit membalikkan badan bermaksud menengok siapa yang berucap itu.
“Wendi?” Tanyaku heran plus bingung melihat wajah kekasihku ada di depanku.
“Hahah, panik banget si sayang. Iya ini aku Wendi.” Jawabnya sambil menunjuk wajahnya sendiri. Akupun tersenyum simpul padanya. Terlihat tangannya menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
“Kau menyembunyikan apa?” Tanyaku sambil sedikit melongo ke arah tangannya. Dia hanya sedikit melirik ke arah belakang.
“Tak ada apa-apa.” Ujarnya berbohong. Akupun menengok ke arah belakang Wendi. Namun dia menggeserkan posisinya.
“Sudahlah aku tahu apa yang kau bawa. Mawarkan?” Tanyaku dengan mata memandangnya. Diapun tertawa.
“Haha, pacarku ini pandai sekali. Nih.” Diapun memberikan mawar itu padaku. Aku menerimanya lalu mengusap ujung-ujung kelopak bunganya. Diapun mengacak-acak rambutku.
“Ih, kamu!”
Hujan sore tadi masih menyisakan bekas genangan air di pinggir jalanan. Angin dingin masih menyeruak berlarian di tengah suasana yang kurang mendukung ini. Aku masih terduduk lesu di depan jendela kamarku. Terlihat 9 buah mawar berjejeran di samping kanan dan kiriku. Tepatnya 4 di samping kanan dan 4 lagi di samping kiri. Sedangkan mawar yang satunya lagi ada di depanku. Mawar ini adalah mawar terbaru yang Wendi beri padaku. Sisanya ada yang tinggal batang saja, ada yang sudah rapuh dan ada yang hampir rapuh.
Semua mawar itu adalah mawar dari Wendi. Tapi akhir-akhir ini, Wendi jarang menampakkan bayangannya di hadapanku. Dia juga sudah tak memberiku mawar lagi. Entah kemana dia? Aku hubungipun dia tak aktif. Ku coba datang ke rumahnya selalu tak ada. Jika aku datang ke kelasnya dia selalu menyuruhku untuk kembali menuju kelasku. Entah kenapa Wendi jadi begini. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Apakah dia punya simpanan lain? Atau dia menjauhiku karena dia sakit seperti di film dan drama-drama? Hmm.. Kembali lagi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu menyeruak ke dalam pikiranku. Jika aku memikirkan Wendi, selalu ku coba untuk tetap memikirkan yang positif saja tentangnya. Bagaimana lagi? Aku sudah terlalu mencintai Wendi.
Mulai ku raih mawar terakhir yang Wendi beri padaku. Aku memegang batangnya. Akupun menggenggamnya keras dan..
“Aww.” Jariku terkena duri mawar itu. Langsung ku lihat jari telunjuk kananku. Berdarah. Segera akupun menuju wastafel untuk mencuci lukaku. Rasanya sedikit pedih. Langsung ku turun untuk membawa obat lukaku ini. Lalu ku perbani. Ini sedikit sakit.
Akupun kembali lagi menuju kamarku. Menatap langit mendung malam ini. Walau hanya sorot lampu tiap rumah yang mewarnai cerahnya malam ini. Sekarang, tak terlalu banyak kendaraan yang berlalu lalang. Mungkin karena jalanan licin dan sangat basah. Hujan memang sudah sedikit reda, tapi hujan di hatiku belum juga kunjung tamat.
“Apakah Wendi akan seperti Mawar? Dia akan tetap harum dan indah? Tapi dia rapuh karena memiliki suatu? Apakah itu penyakit? Seperti dalam drama, seorang pacarnya rela menjauhi kekasihnya agar dia tak tahu jika dia mempunyai suatu penyakit. Jika seandainya dia seperti itu, aku akan tetap mencintainya.” Desahku sendiri sambil menatap sekitar jalanan yang basah. Aku masih terdiam terpaku di depan jendela kamarku berharap keajaiban terjadi. Berharap Wendi tiba-tiba datang dan memberiku mawar. Mimpi aku.
Seketika, aku beranjak dari dudukku dan menutup jendela. Aku bermaksud melemparkan tubuhku ke kasur. Aku sudah mengantuk.
Mawar merah ini harum sekali. Seharum dan seindah Wendi. Dia indah sekali bagiku. Walau aku masih terduduk dan berharap Wendi datang lagi, tapi aku akan tetap percaya bahwa cerita ini akan berending bahagia. Begitulah.
Memang sudah 2 minggu ini tak ada komunikasi antara aku dan Wendi lagi. Bertemupun sudah tidak. Hubunganku dengannya sudah rumit. Aku tak mengerti dengan sikap Wendi yang tiba-tiba cuek seperti ini. Apakah dia benar-benar merahasiakan sesuatu di balik semua ini? Jika i ya, apa?
Akupun menyimpan mawar merah itu di bangku taman ini. Akhir-akhir ini aku merasa sedikit galau. Taman ini cukup bisa mencairkan rasa galauku. Jadi, aku sering berkunjung ke sini.
Seketika aku menyimpan mawarku, akupun beranjak bangun dan berjalan-jalan sekitar kota. Ku tinggalkan mawar itu di bangku taman. Akupun meninggalkan bayanganku di sana. Daripada aku masih terduduk di sana sambil menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang, lebih baik aku berjalan-jalan.
Seketika aku sedang enak berjalan, dari kejauhan aku melihat 2 sosok insan yang tak asing di mataku. Wendi dan Desi. Aku melihatnya jalan berdua. Beberapa minggu lalu, aku melihatnya naik motor bersama. Sekarang berjalan. Apa mereka ada hubungan selain berteman?
Akupun bermaksud menghampiri mereka yang tengah bercanda tawa.
“Wendi!” Seruku padanya. Wendipun sedikit melirik ke arahku.
“Nasya, mau apa kamu?” Tanyanya sedikit ketus padaku. ‘Ketus’? Seperti itukah seoarang kekasih bertindak?
“Sayang mengapa kau berjalan dengannya?” Tanyaku sedikit polos pada Wendi. Seketika itu, Desi langsung melirik ke arahku.
“Kau bilang sayang pada siapa? Bukankah kalian sudah putus?” Deg. Satu kalimat dari mulut Desi terucap begitu saja. Seketika petir itu menyambar terlalu keras sehingga membuat rubuh hatiku. Saat itu, perkataan Desi benar-benar membuat hancur hatiku ini.
“Maksudmu apa?”
“Sudahlah sayang. Dia hanya masih mengharapkanku saja. Yuk jalan lagi. Biarkan saja dia!” Jleb. Sekarang perkataan Wendi yang terlalu tajam. Dia terlalu menusukku dengan kata itu. Apa maksudnya mengharapkan? Bukankah dia belum bilang putus sama sekali. Apakah seperti ini Mawar bertindak?
Saat itu juga, hanya tinggal aku sendiri terpaku di pinggir jalanan sana. Kakiku terasa kaku sekali untuk melangkah. Bibirku kelu untuk berucap. Dan mataku lemah untuk menahan bendungan air mata ini. Hatiku rasanya robek saat ini juga. Aku kira Wendi adalah pria baik. Tapi ternyata dia sangat jauh dari dugaanku.
Sekarang, angin mulai menyeruak menerbangkan rambut gemulaiku. Hati dan perasaanku lemah sekali saat itu. Dan yang aku bisa hanyalah MEMATUNG.
Kemarin, aku baru saja mendengar cerita dari Meira. Dia bilang, Wendi memang pria seperti itu. Dia melakukan hal yang sama pada Meira seperti yang dia lakukan terhadapku. Sadis!
Aku sangat merasa bersalah pada Meira karena menerima cinta Wendi saat itu. Aku sangat menyesal pernah bercinta dengannya.
Dan kini, aku mengerti. Mengapa Wendi melambangkan dirinya seperti mawar?
Karena, mawar itu harum dan indah seperti dia. Namun, di balik semua itu, mawar memiliki duri yang bisa menyakiti kita sendiri bila mendekatinya. Dan Wendi, semakin aku mendekatinya, semakin ku tertusuk durinya.
Karena itulah aku BENCI Mawar.
-SELESAI-
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen
dengan judul Mawar. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://deden-arpega.blogspot.com/2013/10/mawar.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown -
Belum ada komentar untuk "Mawar"
Posting Komentar