Indonesia yang subur dan kaya sumber daya alam, sejak sebelum merdeka (Hindia Belanda), dan sesudah merdeka, mulai era Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga era Susilo Bambang Yudhoyono, tak bisa melepaskan diri dari jeratan utang luar negeri, baik utang pemerintah maupun utang swasta.
Era Soekarno (1945–1966)
Presiden Soekarno yang berkuasa sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pada akhir kekuasaannya meninggalkan utang luar negeri sebesar USD 6,3 miliar, terdiri dari USD 4 miliar warisan utang Hindia Belanda (sejak 1968 disepakati rentang 35 tahun dan jatuh tempo 2003) ditambah utang pemerintah USD 2,3 miliar (rentang 30 tahun sejak 1970 dan jatuh tempo 1999).
Presiden Soekarno, sebenarnya seorang pemimpin yang berani punya sikap tentang utang. “Go To Hell with Your Aid,” pernyataan tegasnya menyikapi campur tangan IMF pada peristiwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, 1956. Pernyataan ini menegaskan bahwa dia seorang pemimpin yang visioner dan berani mengambil sikap untuk menolak utang dan investasi asing apabila hal itu diikuti kepentingan dan intervensi asing.
Dia pemimpin visioner yang memilih lebih baik menyerukan dan mengajak rakyat untuk Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) sekaligus mengedepankan pembangunan karakter bangsa (character and nation building)
Era Soeharto (1966–1998)
Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun (1966- Mei 1998) meninggalkan utang luar negeri sebesar USD 136,088 (1997). Terdiri dari Utang LN Pemerintah USD 53.865 dan Utang LN Swasta USD 82.223 (Sumber Bank Indonesia). Jika dirupiahkan dengan kurs Rp.10.000, Utang LN Pemerintah Rp.538,65 trilyun, dan Utang LN Swasta Rp.822,23 trilyun. Total utang LN Rp.1.360,88 trilyun.
Dibanding tahun 1996, terjadi lonjakan Utang LN Swasta sebesar USD 27.355 dari USD 54.868 menjadi USD 82.223 tahun 1997. Sementara pinjaman LN Pemerintah turun USD 1.438 dari USD 55.303 (1996) menjadi USD 53.865 (1997). Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia telah mulai diguncang krisis moneter yang berbuntut pada krisis politik yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan presiden Soeharto, Mei 1998.
Tahun 1998, pinjaman LN Pemerintah naik sebesar USD 13.463 dari USD 53.865 (1997) menjadi USD 67.328 (1998). Sedangkan pinjaman LN Swasta naik USD 1.335 dari USD 82.223 (1997) menjadi USD 83.558 (1998).
Era Habibie (1998–1999)
Di tengah krisis moneter dan politik, Presiden Soeharto menyerahkan jabatan Presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie, 22 Mei 1998. Presiden BJ Habibie yang berkuasa selama 518 hari sampai Oktober 1999, meninggalkan utang LN (1999) sebesar USD 148.097 terdiri dari utang LN pemerintah USD 75.862 dan utang LN Swasta USD 72.235. Utang LN Pemerintah tersebut naik sebesar USD 21.997 dibanding tahun 1997 (USD 53.865).
Era Gus Dur (1999–2001)
Presiden BJ Habibie digantikan Presiden Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, sejak 21 Oktober 1999. Namun, Presiden RI ke-4 ini hanya berkuasa sampai 23 Juli 2001. Dia dilengserkan setelah menolak memberikan pertanggungjawaban pada Sidang Istimewa MPR. Ia digantikan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pada masa sulit pemerintahannya, utang luar negeri pada tahun 2000 turun menjadi USD 141.693 (pemerintah USD 74.916 dan sawsta USD 66.777). Tahun 2001 turun lagi menjadi USD 139.143 (pemerintah USD 72.197 dan swasta USD 66.946). (Sumber Bank Indonesia, 2001).
Era Megawati (2001–2004)
Presiden Megawati Soekarnoputri yang berkuasa sejak 23 Juli 2001 sampai 21 Oktober 2004, praktis tidak terjadi kenaikan utang luar negeri. Pada tahun 2004, dari data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, Volume I Februari 2010, Publikasi Bersama Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, dia meninggalkan utang sebesar USD 141.273 (pemerintah USD 83.296 dan sawsta USD 57.977). Sedikit turun dari posisi total utang LN tahun 2000 yakni sebesar USD 141.693 (pemerintah USD 74.916 dan sawsta USD 66.777). (Sumber BI, 2001).
Penurunan atau tidak meningkatnya utang luar negeri tersebut adalah akibat kebijakan privatisasi beberapa BUMN dan saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan sekitar 20% dari total nilai BLBI. Selama kurang lebih tiga tahun pemerintahan Megawati, dilakukan privatisasi BUMN sebesar Rp18,5 triliun masuk ke kas negara, yakni Rp3,5 triliun (2001), Rp7,7 triliun (2002), dan Rp7,3 triliun (2003).
Era SBY I (2004–2009)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang akrab dipanggil SBY, Presiden RI pertama pilihan langsung rakyat melalui Pemilu 2004, menggantikan Presiden Megawati pada 21 Oktober 2004 sampai 2009. Kemudian pada Pilpres 2009, berpasangan dengan Boediono, kembali terpilih untuk menjabat Presiden RI periode kedua 2009-2014.
Selama periode pertama kekuasaannya (2004-2009) berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, Volume I Februari 2010, Publikasi Bersama Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, posisi utang LN sampai Oktober 2009 meningkat menjadi USD 170.785 (pemerintah USD 98,859 juta dan swasta USD 71.926). Diperkirakan peningkatan utang masih akan tinggi pada periode kedua (SBY-Boediono) 2009-2014, sebab kebijakannya masih gemar menggali utang. BI/pdti (Berita Indonesia 78)
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Hutang Negara Indonesia Dari Era Soekarno Sampai SBY. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://deden-arpega.blogspot.com/2013/10/hutang-negara-indonesia-dari-era.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown -
1 Komentar untuk "Hutang Negara Indonesia Dari Era Soekarno Sampai SBY"
seandainya Negara berniat untuk melunasi utang2nya ..itu bisa saja dengan kemauan yang tinggi tentunya dengan pengorbanan rakyat terutama pejabat pemerintah dan konglomerat..tapi apa mungkin.
Mungkin saja kalau kita mencontohi Australia dalam mengatasi utangnya dengan pemangkasan anggaran gaji pns/swasta dan sumbangan konglomerat tentunya. wk wk wk imposibel.
Posting Komentar